Tak banyak tujuanku dalam menulis ini. Semuanya kulakukan hanya untuk meringankan beban di hati. Jika aku menceritakan semua ini kepada sahabat-sahabat terbaikku, mereka tidak akan tahan mendengarnya. Karena mereka telah begitu sering mendengarku membicarakan hal yang sama dan akan memakan waktu berjam-jam jika aku menceritakan semuanya kepada mereka. Orang yang akan memahami tulisan ini hanyalah orang yang benar-benar peduli padaku. Karena mereka sanggup membaca tulisan yang begitu panjang ini sampai akhir. Sementara mereka yang tidak benar-benar peduli, pasti akan berhenti sebelum sampai halaman ketiga.
Selain itu, aku menulis juga untuk mengabadikan perasaan ini, agar kenangan-kenangan tersebut tidak hilang. Jadi, ketika bertahun-tahun kemudian, ketika segalanya mulai kabur bagiku, kubaca tulisan ini, kenangan-kenangan itu akan kembali padaku. Serta perasaan itu, akan dapat kurasakan sekali lagi….
Selain itu, aku menulis juga untuk mengabadikan perasaan ini, agar kenangan-kenangan tersebut tidak hilang. Jadi, ketika bertahun-tahun kemudian, ketika segalanya mulai kabur bagiku, kubaca tulisan ini, kenangan-kenangan itu akan kembali padaku. Serta perasaan itu, akan dapat kurasakan sekali lagi….
Bau itu merebak, memenuhiku. Membawaku kembali ke masa lalu. Membangkitkan kenangan indah yang seiring dengan berjalannya waktu, kuberharap takkan memudar dari ingatan. Sekaligus menghadirkan kembali sosok yang ingin kulupakan, namun pada saat yang sama selalu hidup dalam jiwaku.
Bau itu, bau badan anak laki-laki yang bercampur debu dan keringat setelah bermain bersama teman-temannya seharian. Mungkin bagimu, sama seperti kebanyakan orang pada umumya, bau itu memuakkan. Namun bagiku, yang dulu sangat akrab dengan bau seperti itu, sangat menyenangkan. Tapi kali ini agak sedikit berbeda. Bau itu sekarang menimbulkan rasa sesak didadaku. Bukan karena aku mulai seperti kalian, tapi karena ada perasaan yang tak pernah bisa tersampaikan hingga semua terlambat sudah.
Hari ini aku kembali mengalami semua itu. Mencium bau keringat teman-teman priaku dan memandang punggung mereka yang basah karena keringat di depanku, ketika kami semua mengayuh sepeda pulang di hari yang semakin larut untuk bermain. Namun, bagaimana pun semua hal itu mirip seperti yang pernah kualami dulu, tetaplah tak ada yang sama. Tak ada yang sama dengan bau sesungguhnya yang dulu sering kucium, dan punggung lebar, kekar serta tegap yang sangat kukenal. Tak pernah ada dan tak akan pernah ada yang sepertinya.
Semua ini akan membawa kita ke masa lalu. Ke masa-masa yang begitu indah dan takkan pernah mau kulupakan. Masa-masa di mana aku pergi keluar rumah hampir setiap sore untuk bermain bersama teman-teman priaku. Bermain kejar-kejaran, bulutangkis, playstation, bola, catur, kartu, tenis meja, ular tangga, atau mungkin hanya sekedar berjalan-jalan keliling komplek dengan sepeda kami. Namun, yang paling sering kami lakukan tentu bermain basket.
Semuanya dimulai ketika aku duduk di kelas 5 SD. Di hari-hari awal, aku memang sudah menyadari kehadirannya. Namun tak begitu berkesan karena dia hanyalah seperti teman-temanku yang lain. Pada saat itu aku tak tahu, dialah pria yang akan selalu menghiasi mimpiku selama bertahun-tahun ke depan, dan bahkan akan terus berada berada dekat di hatiku walaupun segalanya telah berubah. Aku mengenalinya, namun hanya sekedar mengetahui namanya. Karena masih samar dalam ingatanku bahwa akupun pernah sekelas dengannya di kelas 3.
Sekitar pada hari kedua, ketika selesai berdoa pagi, aku menyadari orang yang berbeda dengan yang kemarin duduk di sebelahku. Aku melihatnya sekilas dan berkata, “Oh, Eric.” Tentu saja namanya bukan Eric. Tidak, sama sekali berbeda dengan itu. Aku menggunakan nama lain karena ada kemungkinan yang besar sekali salah satu dari teman barunya akan membaca ini dan memberitahukan kepadanya. Atau bahkan dia sendiri yang membaca ini. Dan aku tidak akan berani menunjukkan wajahku di hadapannya jika itu terjadi. Karena semua yang akan aku tuliskan merupakan perasaan sejujurnya yang telah aku rasakan selama bertahun-tahun. Aku menggunakan nama Eric hanya karena aku menyukai nama itu. Aku selalu menyukainya.
“Kenapa pindah ke sini?” Aku bertanya.
“Ah, nggak enak di depan,” kira-kira begitulah dia menjawab. Karena seingatku, di hari pertama aku melihatnya duduk di kursi paling depan, paling ujung di sebelah kiri kelas.
“Ah, nggak enak di depan,” kira-kira begitulah dia menjawab. Karena seingatku, di hari pertama aku melihatnya duduk di kursi paling depan, paling ujung di sebelah kiri kelas.
Setelah percakapan singkat itu, kami menjadi begitu dekat. Kami terus berbicara satu sama lain. Membuat lelucon konyol yang membuat kami tertawa hingga sakit perut. Tak mengindahkan walaupun kami sering ditegur dan dimarahi guru. Salah satu lelucon konyol yang kami buat adalah cerita mengenai seorang ibu gila. Kami membuatnya hingga beberapa episode, dan berjanji akan membuatnya sampai episode ke-100 (Kami berpikir mungkin anak-anak kami yang akan melanjutkannya). Namun keadaan tidaklah selalu seperti yang kita rencanakan. Kurasa, cerita itu tidak akan pernah mencapai bahkan episode kesepuluhnya (Kalau tidak salah kami telah membuat sampai episode ke-7 atau ke-8).
Kami juga banyak bercerita mengenai diri kami masing-masing. Hal itu membuatku merasa sebagai satu-satunya orang di sekolah yang paling mengenalnya luar-dalam. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menyadari aku menyukainya. Karena memang seperti itulah aku, seorang yang mudah jatuh cinta. Tadinya hubungan kami berjalan baik-baik saja. Berteman dengan baik dan saling terbuka satu sama lain. Kami bahkan bertukar nama rahasia yang tak pernah kami beritahukan kepada orang lain. Aku memberitahunya nama babtisku (yang sangat kubenci karena terlalu seperti nama anak perempuan) dan dia memberitahuku nama keluarga terakhirnya yang bahkan tidak tercantum dalam akta kelahiran. Bukankah sangat menyenangkan menyimpan rahasia besar dari orang yang kau sukai? Aku tetap menjaganya sampai sekarang. Aku tak pernah memberitahukannya pada siapapun., bahkan pada sahabat terbaikku.
Segalanya berjalan begitu baik hingga pemikiran bodoh menguasaiku. ‘Orang yang kusuka adalah orang yang kubenci’. Suatu paham yang didapatkan anak kecil yang tidak tahu apa-apa karena terlalu banyak membaca, menonton, atau mendengar kisah-kisah di mana seorang pria dan wanita yang awalnya musuh bebuyutan jatuh cinta satu sama lain dan akhirnya berpacaran. Bukankah menyenangkan jika hal yang seperti dongeng itu terjadi dalam kehidupanmu? Namun hidup bukanlah dongeng. Dan kalau boleh kusarankan, jangan pernah memercayai hal seperti itu. Karena aku telah begitu sering merasakan sakit karena anggapan bodoh itu.
Aku pun mulai bertingkah seolah aku sangat membencinya. Mengata-ngatainya, mengganggunya, memukulnya, dan selalu mengatakan dialah musuh terbesarku. Aku sangat berharap bahwa keadaan akan menjadi seperti dicerita-cerita itu. Hingga semuanya benar-benar terjadi. Namun tentu saja tidak pada bagian indahnya. Dia mulai terganggu dengan diriku dan lama kelamaan benar-benar menganggapku sebagai musuh besarnya. Dia memiliki gank bersama tiga orang teman prianya dan aku juga memiliki gank bersama tiga orang teman wanitaku. Kami sering bertengkar untuk memperebutkan tempat duduk di kelas. Kami sama-sama menyukai tempat duduk yang tepat berada di tengah-tengah ruangan. Ketika akhirnya gank mereka lebih memilih untuk duduk jauh di pojok belakang kelas, aku mulai rindu akan pertengkaran-pertengkaran itu. Dan tentu aku amat rindu untuk duduk berdekatan dengannya lagi, tertawa bersamanya.
Tentu permusuhan besar seperti itu tak akan bertahan selamanya. Lama kelamaan hubungan kami membaik, namun tak pernah sedekat dulu. Dan hal itu sangat kusayangkan. Karena bila aku tidak suka menjahilinya untuk mendapatkan perhatian, mungkin keadaan akan sedikit berbeda sekarang. Akhirnya hubungan kami hanyalah sekedar teman main di rumah. Kami sering bermain di sore hari bersama teman-teman lain yang tentu saja juga satu sekolah. Sekolah kami terletak di dalam komplek perumahan dan sebagian besar muridnya tinggal di komplek atau di sekitar komplek tersebut. Beberapa temanku hanya perlu bersepeda untuk pergi ke sekolah. Tapi keadaan agak lain untukku. Aku pergi ke sekolah dengan mobil jemputan karena rumahku tidak dalam komplek yang sama dengan sekolah. Yang juga berarti tidak satu komplek dengan rumah Eric.
Jika ingin bermain bersama teman-teman, aku perlu bersepeda dari rumahku selama kurang lebih lima belas menit dan menyeberangi jembatan yang melintas di atas sungai. Sungai kecil dan kumuh tersebut membatasi komplek perumahanku dengan komplek perumahan Eric. Setelah itu, aku masih harus mengangkat sepedaku melalui jalan berundak yang dipalangi oleh tiang besi agar dapat sampai ke bagian belakang komplek perumahan Eric dan bermain bersama yang lain.
Seperti yang telah kuceritakan diatas, kami bermain basket hampir setiap sore. Eric adalah orang yang sangat pandai berolahraga. Larinya amat cepat, dia pandai bermain basket, bola, bulu tangkis, kasti, dan catur! Hal itu membuktikan bahwa dia bukanlah orang yang hanya memiliki otot, namun juga otak. Karena memang menurutku dia pandai, namun hanya malas. Kami juga suka duduk-duduk saja dan bercerita, entah mengenai kejadian di sekolah maupun membuat lelucon di taman, pinggir jalan, pos-pos jaga yang kosong, pinggir lapangan atau di depan warung
Setiap hari yang kulalui bersama dengan Eric selalu menyenangkan. Diariku penuh dengan namanya. Setiap ada suatu hal yang menarik yang kualami bersamanya, tak pernah lupa kutulis. Agar aku tak pernah melupakan betapa bahagianya saat-saat itu, agar kenangan akan dirinya selalu abadi.
Suatu hari, sahabat terdekatnya berkata padaku, “Lon, ada yang mau sama lo?”
“Siapa?” kontan aku bertanya.
“Lo pasti tau.”
“Siapa? Gue nggak tau,” aku berkata. Sangat berharap dia akan menyebut nama Eric.
“Lei,”
“What?! Lo mau ngebunuh gue, ya?!” Aku setengah menjerit setelah dia menyebutkan nama temanku yang ‘nggak banget’.
“Bukan… bukan…” akhirnya aku dapat bernapas lega, tapi masih penasaran.
“Eric,” serasa mau melompat jantungku. Aku nggak bermimpi, kan?
Namun aku adalah orang yang dipenuhi rasa gengsi. Tentu saja aku tak mau menunjukkan kegiranganku apalagi ketertarikanku yang sesungguhnya akan Eric.
“Tapi ada syaratnya,” dia melanjutkan.
“Apa?”
“Satu, lo harus berhenti ngejailin dia. Kedua, lo jangan suka nantangin guru lagi. Ketiga, lo harus lebih kayak cewek.”
Yah… Syarat-syaratnya memang tak mengejutkan jika Eric ajukan, karena aku memang tidak seperti anak perempuan pada umumnya. Di sekolah aku adalah murid yang paling nakal dan sering mendapatkan masalah dengan guru. Tapi untungnya guru-guru yang membimbingku sangat sabar dan memahami bahwa aku tidak akan bertobat jika kenakalanku juga dibalas dengan perlakuan keras .
Setelah itu, beberapa hari aku memikirkan syarat-syarat tersebut. Sebenarnya aku rela melakukan apa saja demi dia yang sangat berarti untukku, apalagi kalau dilihat-lihat, semua syarat itu juga untuk kebaikanku. Namun aku adalah orang yang dipenuhi rasa gengsi. Aku berpikir, jika dia benar-benar mencintaiku, dia pasti akan menerimaku apa adanya. Sama seperti diriku yang tak pernah mempermasalahkan kekurangan-kekurangannya, yang tentu saja tidak akan aku sebutkan disini. Karena itu berarti aku menjelek-jelekannya. Sesuatu yang tidak pantas kau lakukan jika kau menyayangi seseorang.
“Bilangin sama Eric, kalo kebanyakan syarat gitu, mending nggak usah, ah! Lagipula kalo dia bener-bener suka sama gue, dia harus nerima gue apa adanya,” beberapa hari kemudian aku berkata pada sahabat Eric itu.
Suatu hal yang sekarang kusadari sebagai salah satu tindakan terbodoh seumur hidupku. Akhirnya hari-hari ku di kelas 5 berjalan tanpa ada suatu hubungan yang spesial antara aku dan Eric. Kelas 5 merupakan tahun favoritku di SD karena segalanya terasa begitu menyenangkan. Dan masalah tidak sepelik saat aku kelas 6.
Segala hal yang aku takutkan terjadi. Aku berpisah kelas dengan teman-temanku yang amat menyenangkan dan kompak selama kelas 5. Yang lebih buruk lagi adalah aku berpisah dengan Eric. Di tahun terakhirku di SD, yang menjadi saat-saat terakhirku satu sekolah dengan dirinya, aku malah tak satu kelas dengannya.
Seperti yang bisa kau kira, hubunganku dengannya semakin menjauh. Hal-hal yang bisa membuat kami tetap berhubungan hanyalah komik Naruto dan basket. Karena kami berdua sangat menyukai hal-hal itu. Walaupun kami masih sering bermain bersama-sama saat sore (dan pagi pada hari Sabtu dan libur), aku dapat merasakan hubungan kami semakin lama semakin menjauh. Begitu jauh hingga kami takkan berbicara satu sama lain jika tidak benar-benar perlu.
Hingga hari terkutuk itu datang. Kelasku diberi tugas untuk memeriksa PS Matematika kelas Eric (karena angkatan kami memang hanya terdiri dari dua kelas). Aku bertukar buku dengan sahabatku dan memperoleh buku Eric. Dari 3 soal, dia hanya mengerjakan 1 soal, dan itu pun salah. Aku rasa bukan karena dia tak bisa, tapi karena terlalu banyak mengobrol dengan teman-temannya. Aku mencorat-coreti PS-nya dengan bolpen merah yang awalnya kugunakan untuk memeriksa jawabannya. Corat-coretan yang isinya merupakan kata-kata yang tidak pantas kau katakan pada orang yang mendapatkan nilai nol kalau kau tak ingin mendapatkan masalah. Apalagi dengan orang yang bertemperamen tinggi seperi Eric. Entah apa yang membuatku nekat melakukan hal itu.
Saat bel istirahat berbunyi, aku keluar ke selasar di depan kelas. Tak lama kemudian Eric menghampiriku. Kami bertengkar, tentu saja, mengenai coretan di PS Matematikanya. Dia merasa tersinggung dan begitu marah. Namun aku adalah orang yang keras dan penuh gengsi, sama seperti dirinya. Aku tentu membela diri dengan mengatakan dia juga sering mengata-ngataiku. Setelah pertengkaran beberapa lama yang penuh ketegangan, akhirnya dia mengatakan hal itu, hal yang mungkin menyebabkan segalanya menjadi seperti sekarang.
“Udah, anggep aja gue nggak pernah kenal sama yang namanya Fallon! Anggep aja gue nggak pernah punya temen yang namanya Fallon!”
Kemudian dia berjalan melewati pintu yang menghubungkan antara kelasku dengan kelasnya. Dunia serasa runtuh bagiku. Aku tak pernah mengira bahwa apa yang telah aku lakukan akan berakibat bagitu fatal bagi hubungan kami. Hubungan yang tadinya begitu dingin dan jauh, mendadak berubah menjadi TAK ADA HUBUNGAN SAMA SEKALI.
Setelah itu aku tetap bermain ke komplek rumah Eric. Namun tentu tidak lagi bermain bersamanya. Walaupun kami berada di lapangan yang sama, kami akan menghindari berada di bagian lapangan yang sama. Dan jika kami terpaksa berada di bagian lapangan yang sama karena orang-orang dewasa mulai menguasai bagian lapangan yang satunya, jangan pernah berharap ada satu pun kata yang terucap antara kami.
Aku selalu berkata pada semua orang (kecuali sahabat-sahabatku yang mengetahui betapa aku mencintainya) bahwa aku amat membencinya dan berharap tertimpuk bola basket hingga amnesia agar dapat melupakan bahwa aku pernah mengenalnya. Tapi sebenarnya aku hanya ingin bisa meninggalkan mati cintaku kepadanya, jika keadaan tak mungkin lagi menjadi lebih baik seperti yang tampak, karena perasaan ini semakin lama sungguh semakin menyiksaku.
Hari-hariku di kelas 6 tak seindah seperti di kelas 5, walaupun tetap saja amat menyenangkan. Mungkin sedikit banyak disebabkan hubunganku dengannya yang jika kuingat lagi, membuatku sesak.
Begitu mengejutkan ketika kita menyadari bahwa waktu berjalan begitu cepat. Karena tiba-tiba saja aku sudah sampai di masa-masa terakhirku di SD. Segalanya mulai dipersiapkan untuk acara perpisahan kami. Suatu kenyataan yang amat menyenangkan dan mengejutkan bahwa di acara perpisahan nanti, akan ada dansa antara siswa dengan siswi. Jantungku tentu saja berdetak kencang. Berharap bahwa aku dapat berpasangan dengan Eric. Sehingga saat-saat terakhir itu dapat jadi begitu bermakna seperti yang seharusnya.
Dalam pelajaran menari (yang tentu menjadi salah satu favoritku selain Olaraga karena pada pelajaran-pelajaran itulah kelasku dan kelas Eric digabung), akhirnya tiba saat untuk menentukan pasangan dansa kami. Beberapa anak di bawa maju ke tengah aula untuk ditentukan pasangan dansanya. Kontan semua anak berteriak ribut dan menyebutkan nama teman yang dianggap cocok dengan anak tersebut. Aku pun ikut berteriak-teriak dan tertawa jika kedua orang tersebut benar-benar dipasangkan. Tiba-tiba guru kami berjalan mendekati tempat duduk Eric. Eric sibuk menyembunyikan wajahnya agar tidak terlihat dan di tarik ke tengah aula. Aku menahan napas.
“Fallon! Fallon! Fallon!” aula langsung dipenuhi gemuruh suara anak-anak yang meneriakkan namaku.
Hal itu terjadi tepat pada saat sang guru menarik tangan Eric agar bangkit dari duduknya menuju ke tengah aula.
“Nggak! Nggak! Ogah!” Aku berteriak dengan pipi memerah. Dihadapan teman-teman aku tidak boleh menunjukkan kegiranganku. Karena aku selalu berusaha agar mereka mengira aku membencinya. Namun guru kami telah menarik tanganku dan menghantarkanku ke hadapan Eric.
Setelah beberapa anak ditentukan pasangannya (yang merupakan hasil teriakan teman-teman), para siswa yang belum memiliki pasangan disuruh membuat beberapa barisan. Dan para siswi harus memilih salah satu diantara mereka dengan cara berdiri dihadapannya. Setelah semua anak mendapatkan pasangan, kami mulai latihan. Beberapa anak berpegangan tangan, seperti yang telah diinstruksikan guru kami. Namun tentu aku dan Eric tidak berpegangan tangan. Dia tidak pernah mengulurkan tangannya padaku, dan aku pun takkan pernah menawarkan tanganku terlebih dahulu.
Kami berdansa diiringi medley tiga lagu, namun yang bisa kuingat hanyalah lagu Edelweiss. Dari beberapa kali latihan, hanya sekali kami berpegangan tangan. Yaitu pada latihan terakhir tepat sebelum acara perpisahan dimulai.
Ketika acara perpisahan dimulai, aku sangat senang sekaligus sedih. Setelah kebersamaan kami selama 6 tahun, aku harus berpisah dengan teman-teman SD ku. Aku dapat melihat Eric dengan cukup jelas dari tempat dudukku, karena tempat duduk kelas 6A (kelas Eric) berada di sebelah kanan panggung, sementara tempat duduk kelas 6B (kelasku) berada di sebelah kiri panggung. Aku pun sangat bersyukur karena tempat duduk kami tepat berhadapan.
Sesaat sebelum acara dansa tiba, kami diberi waktu untuk berganti pakaian di kamar mandi dekat aula TK. Para siswi menggunakan gaun, sedangkan para siswa menggunakan celana panjang dengan jas atau kemeja lengan panjang. Aku menggunakan gaun berwarna hijau zamrud. Aku berharap Eric akan menyukainya, karena aku tahu dia menyukai warna hijau.
Akhirnya dansa dimulai. Dia mengenakan kemeja berlengan panjang putih, celana panjang hitam dan sepatu keds hitam. Walaupun sederhana, tapi bagiku dia amat menawan malam itu. Aku berusaha untuk benar-benar menikmati setiap detiknya. Berdansa di bawah sinar bulan, di depan puluhan pasang mata. Aku menghayati setiap gerakan yang kami buat dan hangat tangan Eric yang hanya menggenggam jemariku. Saat itu aku tak berani menatap wajahnya, apalagi matanya. Paling tidak aku melakukannya dengan sekilas. Lagu pun berhenti mengalun, kami langsung melepaskan tangan kami dan pergi ke arah yang berlawanan. Malam itu, menjadi malam paling indah dan tak terlupakan sepanjang hidupku.
Waktu tak pernah mau berhenti untuk kami yang tak ingin meninggalkan masa lalu. Sekarang kami sudah memasuki SMP yang berbeda. Aku masuk di SMP yang jauh dari rumahku, sementara dia masuk SMP yang cukup dekat dengan rumahnya. Banyak teman satu SD ku yang juga masuk ke SMP yang sama dengan Eric. Sehingga bukanlah hal yang sulit untukku jika ingin mengetahui kabarnya sekarang.
Walaupun sudah hampir satu tahun berlalu dari acara perpisahan kami, aku dan Eric tetap bermusuhan dan tak saling bicara. Tentunya kalian tidak lupa mengenai pertengkaranku dengannya akibat tragedi PS Matematika itu, kan? Semuanya masih sedingin dahulu, hubungan aku dengannya. Bahkan dansa di acara perpisahan pun tak berhasil memperbaiki hubungan kami.
Akhirnya aku sampai di satu titik, di mana aku menyadari sebenarnya akulah yang jahat dan keterlaluan kepadanya. Dia berlaku jahat padaku karena akulah yang memulainya terlebih dahulu. Akhirnya aku memutuskan untuk meminta maaf kepada Eric melalui perantaraan teman dekatku yang juga dekat dengan Eric. Kita sebut saja dia Vina.
Betapa lega dan senangnya aku, ternyata Eric mau memaafkanku. Semenjak saat itu, kami mulai berbicara, namun tetap tak sedekat dahulu. Tetap ada jurang pembatas di antara kami walaupun jarak kami tak sampai satu meter. Bersama dengan semakin jauh waktu meninggalkan saat-saat kami di SD, hubungan dengannya pun semakin menjauh juga. Kami tidak bertengkar, namun kami tidak berbicara satu sama lain. Separah itulah hubungan kami. Disuatu saat hubunganku dengannya membaik dan mendekat, namun tak lama kemudian kembali menjauh. Lebih jauh daripada sebelumnya dan takkan menjadi lebih dekat seperti sebelumnya.
Suatu sore aku bermain ke rumah teman priaku. Dia tidak satu SD denganku, namun dia juga teman sepermainanku di rumah. Dan sekarang dia satu SMP dengan Eric. Sebut saja dia Mike.
Awalnya aku datang hanya ingin melihat foto kelasnya, di mana terdapat foto pacar Eric sekarang di SMP yang berarti pacar pertamanya. Lama kelamaan akhirnya aku dan Mike saling curhat mengenai orang yang kami suka. Setelah memaksa Mike bersumpah takkan membocorkan hal ini pada siapapun dan menukarnya dengan nama orang yang disukainya, akhirnya aku menceritakan kepada Mike betapa aku mencintai Eric. Waktu berjalan begitu cepat ketika kami mengobrol sehingga aku baru pulang dari rumahnya larut malam. Karena berhubung dia cukup dekat dengan Eric, Mike berjanji akan membantu memperbaiki hubunganku dengannya.
Kemudian satu demi satu kebohongan terkuak. Pacar Eric (yang lebih baik kita sebut Rika), ternyata berselingkuh di belakangnya. Menurut informasi yang kudengar dari Vina, Rika sering terlihat mesra dengan kakak kelasnya. Dan ternyata, suatu fakta yang kutemukan dengan tak sengaja, Rika juga berhubungan dekat dengan kakak kelasku. Menurut kakak kelas itu, semuanya tinggal menunggu waktu. Jika dia ‘tembak’, Rika pasti akan jadian dengannnya. Bagaimana aku tidak marah dan kesal? Eric yang sangat aku sayangi dan berusaha kudapatkan setengah mati disia-siakan begitu saja oleh Rika! Apakah Rika tidak menyadari betapa beruntungnya dia?
Tak lama kemudian Eric putus dengan Rika. Suatu kabar yang menggembirakan. Bukan hanya karena berarti Eric ‘available’ lagi, tapi juga karena akhirnya dia lepas dari permainan Rika. Setelah putus dari Rika, lama sekali Eric menjomblo. Hingga suatu hari kudengar dari Vina dia telah berpacaran dua kali., namun tidak ada yang bertahan sampai sebulan. Aku juga tidak menjomblo terus selama di SMP. Aku telah dua kali pacaran. Yah… yang pertama aku tak mau menyebutnya sebagai pacaran, karena aku sungguh tak mengkehendakinya. Aku hanya menerima mantanku yang pertama karena kasihan padanya. Tentunya karena ada suatu kejadian yang dialaminya dan tak boleh aku ceritakan di sini.
Saat aku berpacaran untuk yang kedua kalinya, harus kuakui aku menyayangi pacarku saat itu. Namun aku masih terlalu egois dan belum mengerti apa-apa tentang berpacaran, sehingga hubungan kami tak bertahan terlalu lama. Dan sekarang, hubunganku dengan mantan-mantanku tak berbeda dengan hubunganku dengan Eric. Bahkan lebih parah. Kami tak berbicara sama sekali.
Satu lagi kebohongan yang terungkap. Mike mengingkari sumpahnya. Dia memberitahukan kepada Eric betapa aku mencintainya. Aku mengetahui hal itu dari sahabatku. Dan sahabatku diberitahukan oleh Eric sendiri. Semenjak saat itu aku sangat malu jika harus berhadapan dengan Eric. Satu-satunya yang dapat aku lakukan hanya berpura-pura tidak tahu perbuatan yang telah Mike lakukan. Berpura-pura tidak tahu Eric mengetahui semuanya.
Kegiatanku di SMP begitu menyibukkanku sehingga aku jarang sekali dapat bermain ke komplek perumahan Eric. Tidak ada minggu tanpa ulangan, tugas yang menumpuk, latihan basket, dan ekskul komputer memenuhi hari-hariku. Intensitas pertemuanku dengan Eric pun semakin berkurang, bahkan bisa 2 bulan sekali bertemu.
Hingga akhirnya aku mendengar kabar itu. Eric akan pindah rumah. Dulu sekali, aku juga pernah mendengar kabar itu, dan memang Eric pindah rumah. Namun pindahnya di sekitar komplek itu juga. Dan sekarang dia akan pindah rumah ke tempat yang lebih dekat dengan sekolahnya. Yang berarti jauh dari komplek yang sekarang dia tinggali. Kabar itu bagai guntur yang menggelegar di atas kepalaku. Eric memang tidak pindah jauh, bahkan tidak keluar dari kota. Namun yang pasti, rumahnya tidak dapat lagi aku kunjungi dengan bersepeda. Seperti yang biasa aku lakukan selama ini, seperti yang biasa kami lakukan selama ini.
Eric akan pindah di awal bulan Maret. Di awal bulan di mana terdapat tanggal ulang tahunnya. Aku amat berharap dapat melewati hari ulang tahunnya bersama lagi. Dia memang tidak pernah mengadakan pesta untuk merayakan hari ulang tahun, namun aku ingin dapat bermain bersama dan mengucapkan selamat ulang tahun padanya untuk yang terakhir kali. Dulu sekali, ketika kami masih kelas 6 SD, aku pernah memberikan Eric bola basket sebagai hadiah ulang tahun. Bukan bola basket yang bagus dan mahal, namun untuk mendapatkannya aku perlu berjuang keras dan menabung selama 1 bulan. Aku berharap dia dapat menjaganya dengan baik, karena mungkin hanya itulah kenangan mengenaiku yang akan diingatnya. Karena aku menyadari betapa tidak berartinya diriku di matanya, walaupun dia berarti segalanya untukku.
Sehari sebelum kepindahannya, aku sempat bertemu dengan Eric. Tidak lama, namun dia tampak begitu mempesona hari itu. Pada kesempatan itu pun kami tidak bertegur sapa, apalagi berbicara. Gengsi selalu memenuhi diri kami.
Pada hari kepindahannya, aku tak mengantarnya pergi. Karena begitu kusadari, dia telah pergi. Walaupun masih kesal, aku menelpon Mike untuk mengetahui ke mana pastinya Eric pindah. Namun Mike juga tidak tahu pasti.
Akhirnya kini aku tahu ke mana Eric pindah. Di suatu tempat yang jauh dari lingkungan di mana kami menghabiskan masa-masa kecil kami yang indah dengan bermain. Ini berarti aku tidak akan pernah bertemu Eric lagi. Dulu aku berpikir, tidak masalah berpisah SMP dengannya. Toh kami juga masih bisa bertemu di rumah. Namun sekarang, kami tidak akan pernah bertemu lagi. Kecuali jika aku pergi berkunjung ke SMP nya dengan alasan ingin bertemu teman-teman SD ku di sana. Suatu hal yang sangat sulit dan akan jarang sekali terjadi.
Tak ada lagi yang tersisa. Hanya kenangan akan masa-masa penuh tawa dan petualangan serta cinta ini yang tetap tinggal. Kenangan-kenangan itu, seperti yang amat kutakutkan, bisa saja pudar dan hilang dari ingatan. Karena otak manusia juga bisa melemah dan memori-memori, betapapun berharganya itu, akan hilang.
Cinta ini pun dapat tenggelam. Sehingga aku tidak akan melihat wajahnya lagi dalam mimpi ataupun lamunanku selama bertahun-tahun. Namun aku cukup yakin cinta ini takkan hilang. Cinta itu akan kurasakan muncul kembali lagi jika aku kembali menatap mata coklat dan bibir pucatnya.
Selama aku tidak melihatnya lagi, mungkin cinta itu dapat kurasakan pudar. Namun, tentu akan ada rindu yang menyergapku ketika aku berjalan-jalan dengan sepeda di sore hari, melewati tempat-tempat yang dulu sering kami lewati atau singgahi. Ketika aku mencium angin sore yang membawa bau badan anak laki-laki yang bercampur debu dan keringat setelah bermain bersama teman-temannya seharian…
Segalanya berjalan begitu baik hingga pemikiran bodoh menguasaiku. ‘Orang yang kusuka adalah orang yang kubenci’. Suatu paham yang didapatkan anak kecil yang tidak tahu apa-apa karena terlalu banyak membaca, menonton, atau mendengar kisah-kisah di mana seorang pria dan wanita yang awalnya musuh bebuyutan jatuh cinta satu sama lain dan akhirnya berpacaran. Bukankah menyenangkan jika hal yang seperti dongeng itu terjadi dalam kehidupanmu? Namun hidup bukanlah dongeng. Dan kalau boleh kusarankan, jangan pernah memercayai hal seperti itu. Karena aku telah begitu sering merasakan sakit karena anggapan bodoh itu.
Aku pun mulai bertingkah seolah aku sangat membencinya. Mengata-ngatainya, mengganggunya, memukulnya, dan selalu mengatakan dialah musuh terbesarku. Aku sangat berharap bahwa keadaan akan menjadi seperti dicerita-cerita itu. Hingga semuanya benar-benar terjadi. Namun tentu saja tidak pada bagian indahnya. Dia mulai terganggu dengan diriku dan lama kelamaan benar-benar menganggapku sebagai musuh besarnya. Dia memiliki gank bersama tiga orang teman prianya dan aku juga memiliki gank bersama tiga orang teman wanitaku. Kami sering bertengkar untuk memperebutkan tempat duduk di kelas. Kami sama-sama menyukai tempat duduk yang tepat berada di tengah-tengah ruangan. Ketika akhirnya gank mereka lebih memilih untuk duduk jauh di pojok belakang kelas, aku mulai rindu akan pertengkaran-pertengkaran itu. Dan tentu aku amat rindu untuk duduk berdekatan dengannya lagi, tertawa bersamanya.
Tentu permusuhan besar seperti itu tak akan bertahan selamanya. Lama kelamaan hubungan kami membaik, namun tak pernah sedekat dulu. Dan hal itu sangat kusayangkan. Karena bila aku tidak suka menjahilinya untuk mendapatkan perhatian, mungkin keadaan akan sedikit berbeda sekarang. Akhirnya hubungan kami hanyalah sekedar teman main di rumah. Kami sering bermain di sore hari bersama teman-teman lain yang tentu saja juga satu sekolah. Sekolah kami terletak di dalam komplek perumahan dan sebagian besar muridnya tinggal di komplek atau di sekitar komplek tersebut. Beberapa temanku hanya perlu bersepeda untuk pergi ke sekolah. Tapi keadaan agak lain untukku. Aku pergi ke sekolah dengan mobil jemputan karena rumahku tidak dalam komplek yang sama dengan sekolah. Yang juga berarti tidak satu komplek dengan rumah Eric.
Jika ingin bermain bersama teman-teman, aku perlu bersepeda dari rumahku selama kurang lebih lima belas menit dan menyeberangi jembatan yang melintas di atas sungai. Sungai kecil dan kumuh tersebut membatasi komplek perumahanku dengan komplek perumahan Eric. Setelah itu, aku masih harus mengangkat sepedaku melalui jalan berundak yang dipalangi oleh tiang besi agar dapat sampai ke bagian belakang komplek perumahan Eric dan bermain bersama yang lain.
Seperti yang telah kuceritakan diatas, kami bermain basket hampir setiap sore. Eric adalah orang yang sangat pandai berolahraga. Larinya amat cepat, dia pandai bermain basket, bola, bulu tangkis, kasti, dan catur! Hal itu membuktikan bahwa dia bukanlah orang yang hanya memiliki otot, namun juga otak. Karena memang menurutku dia pandai, namun hanya malas. Kami juga suka duduk-duduk saja dan bercerita, entah mengenai kejadian di sekolah maupun membuat lelucon di taman, pinggir jalan, pos-pos jaga yang kosong, pinggir lapangan atau di depan warung
Setiap hari yang kulalui bersama dengan Eric selalu menyenangkan. Diariku penuh dengan namanya. Setiap ada suatu hal yang menarik yang kualami bersamanya, tak pernah lupa kutulis. Agar aku tak pernah melupakan betapa bahagianya saat-saat itu, agar kenangan akan dirinya selalu abadi.
Suatu hari, sahabat terdekatnya berkata padaku, “Lon, ada yang mau sama lo?”
“Siapa?” kontan aku bertanya.
“Lo pasti tau.”
“Siapa? Gue nggak tau,” aku berkata. Sangat berharap dia akan menyebut nama Eric.
“Lei,”
“What?! Lo mau ngebunuh gue, ya?!” Aku setengah menjerit setelah dia menyebutkan nama temanku yang ‘nggak banget’.
“Bukan… bukan…” akhirnya aku dapat bernapas lega, tapi masih penasaran.
“Eric,” serasa mau melompat jantungku. Aku nggak bermimpi, kan?
Namun aku adalah orang yang dipenuhi rasa gengsi. Tentu saja aku tak mau menunjukkan kegiranganku apalagi ketertarikanku yang sesungguhnya akan Eric.
“Tapi ada syaratnya,” dia melanjutkan.
“Apa?”
“Satu, lo harus berhenti ngejailin dia. Kedua, lo jangan suka nantangin guru lagi. Ketiga, lo harus lebih kayak cewek.”
Yah… Syarat-syaratnya memang tak mengejutkan jika Eric ajukan, karena aku memang tidak seperti anak perempuan pada umumnya. Di sekolah aku adalah murid yang paling nakal dan sering mendapatkan masalah dengan guru. Tapi untungnya guru-guru yang membimbingku sangat sabar dan memahami bahwa aku tidak akan bertobat jika kenakalanku juga dibalas dengan perlakuan keras .
Setelah itu, beberapa hari aku memikirkan syarat-syarat tersebut. Sebenarnya aku rela melakukan apa saja demi dia yang sangat berarti untukku, apalagi kalau dilihat-lihat, semua syarat itu juga untuk kebaikanku. Namun aku adalah orang yang dipenuhi rasa gengsi. Aku berpikir, jika dia benar-benar mencintaiku, dia pasti akan menerimaku apa adanya. Sama seperti diriku yang tak pernah mempermasalahkan kekurangan-kekurangannya, yang tentu saja tidak akan aku sebutkan disini. Karena itu berarti aku menjelek-jelekannya. Sesuatu yang tidak pantas kau lakukan jika kau menyayangi seseorang.
“Bilangin sama Eric, kalo kebanyakan syarat gitu, mending nggak usah, ah! Lagipula kalo dia bener-bener suka sama gue, dia harus nerima gue apa adanya,” beberapa hari kemudian aku berkata pada sahabat Eric itu.
Suatu hal yang sekarang kusadari sebagai salah satu tindakan terbodoh seumur hidupku. Akhirnya hari-hari ku di kelas 5 berjalan tanpa ada suatu hubungan yang spesial antara aku dan Eric. Kelas 5 merupakan tahun favoritku di SD karena segalanya terasa begitu menyenangkan. Dan masalah tidak sepelik saat aku kelas 6.
Segala hal yang aku takutkan terjadi. Aku berpisah kelas dengan teman-temanku yang amat menyenangkan dan kompak selama kelas 5. Yang lebih buruk lagi adalah aku berpisah dengan Eric. Di tahun terakhirku di SD, yang menjadi saat-saat terakhirku satu sekolah dengan dirinya, aku malah tak satu kelas dengannya.
Seperti yang bisa kau kira, hubunganku dengannya semakin menjauh. Hal-hal yang bisa membuat kami tetap berhubungan hanyalah komik Naruto dan basket. Karena kami berdua sangat menyukai hal-hal itu. Walaupun kami masih sering bermain bersama-sama saat sore (dan pagi pada hari Sabtu dan libur), aku dapat merasakan hubungan kami semakin lama semakin menjauh. Begitu jauh hingga kami takkan berbicara satu sama lain jika tidak benar-benar perlu.
Hingga hari terkutuk itu datang. Kelasku diberi tugas untuk memeriksa PS Matematika kelas Eric (karena angkatan kami memang hanya terdiri dari dua kelas). Aku bertukar buku dengan sahabatku dan memperoleh buku Eric. Dari 3 soal, dia hanya mengerjakan 1 soal, dan itu pun salah. Aku rasa bukan karena dia tak bisa, tapi karena terlalu banyak mengobrol dengan teman-temannya. Aku mencorat-coreti PS-nya dengan bolpen merah yang awalnya kugunakan untuk memeriksa jawabannya. Corat-coretan yang isinya merupakan kata-kata yang tidak pantas kau katakan pada orang yang mendapatkan nilai nol kalau kau tak ingin mendapatkan masalah. Apalagi dengan orang yang bertemperamen tinggi seperi Eric. Entah apa yang membuatku nekat melakukan hal itu.
Saat bel istirahat berbunyi, aku keluar ke selasar di depan kelas. Tak lama kemudian Eric menghampiriku. Kami bertengkar, tentu saja, mengenai coretan di PS Matematikanya. Dia merasa tersinggung dan begitu marah. Namun aku adalah orang yang keras dan penuh gengsi, sama seperti dirinya. Aku tentu membela diri dengan mengatakan dia juga sering mengata-ngataiku. Setelah pertengkaran beberapa lama yang penuh ketegangan, akhirnya dia mengatakan hal itu, hal yang mungkin menyebabkan segalanya menjadi seperti sekarang.
“Udah, anggep aja gue nggak pernah kenal sama yang namanya Fallon! Anggep aja gue nggak pernah punya temen yang namanya Fallon!”
Kemudian dia berjalan melewati pintu yang menghubungkan antara kelasku dengan kelasnya. Dunia serasa runtuh bagiku. Aku tak pernah mengira bahwa apa yang telah aku lakukan akan berakibat bagitu fatal bagi hubungan kami. Hubungan yang tadinya begitu dingin dan jauh, mendadak berubah menjadi TAK ADA HUBUNGAN SAMA SEKALI.
Setelah itu aku tetap bermain ke komplek rumah Eric. Namun tentu tidak lagi bermain bersamanya. Walaupun kami berada di lapangan yang sama, kami akan menghindari berada di bagian lapangan yang sama. Dan jika kami terpaksa berada di bagian lapangan yang sama karena orang-orang dewasa mulai menguasai bagian lapangan yang satunya, jangan pernah berharap ada satu pun kata yang terucap antara kami.
Aku selalu berkata pada semua orang (kecuali sahabat-sahabatku yang mengetahui betapa aku mencintainya) bahwa aku amat membencinya dan berharap tertimpuk bola basket hingga amnesia agar dapat melupakan bahwa aku pernah mengenalnya. Tapi sebenarnya aku hanya ingin bisa meninggalkan mati cintaku kepadanya, jika keadaan tak mungkin lagi menjadi lebih baik seperti yang tampak, karena perasaan ini semakin lama sungguh semakin menyiksaku.
Hari-hariku di kelas 6 tak seindah seperti di kelas 5, walaupun tetap saja amat menyenangkan. Mungkin sedikit banyak disebabkan hubunganku dengannya yang jika kuingat lagi, membuatku sesak.
Begitu mengejutkan ketika kita menyadari bahwa waktu berjalan begitu cepat. Karena tiba-tiba saja aku sudah sampai di masa-masa terakhirku di SD. Segalanya mulai dipersiapkan untuk acara perpisahan kami. Suatu kenyataan yang amat menyenangkan dan mengejutkan bahwa di acara perpisahan nanti, akan ada dansa antara siswa dengan siswi. Jantungku tentu saja berdetak kencang. Berharap bahwa aku dapat berpasangan dengan Eric. Sehingga saat-saat terakhir itu dapat jadi begitu bermakna seperti yang seharusnya.
Dalam pelajaran menari (yang tentu menjadi salah satu favoritku selain Olaraga karena pada pelajaran-pelajaran itulah kelasku dan kelas Eric digabung), akhirnya tiba saat untuk menentukan pasangan dansa kami. Beberapa anak di bawa maju ke tengah aula untuk ditentukan pasangan dansanya. Kontan semua anak berteriak ribut dan menyebutkan nama teman yang dianggap cocok dengan anak tersebut. Aku pun ikut berteriak-teriak dan tertawa jika kedua orang tersebut benar-benar dipasangkan. Tiba-tiba guru kami berjalan mendekati tempat duduk Eric. Eric sibuk menyembunyikan wajahnya agar tidak terlihat dan di tarik ke tengah aula. Aku menahan napas.
“Fallon! Fallon! Fallon!” aula langsung dipenuhi gemuruh suara anak-anak yang meneriakkan namaku.
Hal itu terjadi tepat pada saat sang guru menarik tangan Eric agar bangkit dari duduknya menuju ke tengah aula.
“Nggak! Nggak! Ogah!” Aku berteriak dengan pipi memerah. Dihadapan teman-teman aku tidak boleh menunjukkan kegiranganku. Karena aku selalu berusaha agar mereka mengira aku membencinya. Namun guru kami telah menarik tanganku dan menghantarkanku ke hadapan Eric.
Setelah beberapa anak ditentukan pasangannya (yang merupakan hasil teriakan teman-teman), para siswa yang belum memiliki pasangan disuruh membuat beberapa barisan. Dan para siswi harus memilih salah satu diantara mereka dengan cara berdiri dihadapannya. Setelah semua anak mendapatkan pasangan, kami mulai latihan. Beberapa anak berpegangan tangan, seperti yang telah diinstruksikan guru kami. Namun tentu aku dan Eric tidak berpegangan tangan. Dia tidak pernah mengulurkan tangannya padaku, dan aku pun takkan pernah menawarkan tanganku terlebih dahulu.
Kami berdansa diiringi medley tiga lagu, namun yang bisa kuingat hanyalah lagu Edelweiss. Dari beberapa kali latihan, hanya sekali kami berpegangan tangan. Yaitu pada latihan terakhir tepat sebelum acara perpisahan dimulai.
Ketika acara perpisahan dimulai, aku sangat senang sekaligus sedih. Setelah kebersamaan kami selama 6 tahun, aku harus berpisah dengan teman-teman SD ku. Aku dapat melihat Eric dengan cukup jelas dari tempat dudukku, karena tempat duduk kelas 6A (kelas Eric) berada di sebelah kanan panggung, sementara tempat duduk kelas 6B (kelasku) berada di sebelah kiri panggung. Aku pun sangat bersyukur karena tempat duduk kami tepat berhadapan.
Sesaat sebelum acara dansa tiba, kami diberi waktu untuk berganti pakaian di kamar mandi dekat aula TK. Para siswi menggunakan gaun, sedangkan para siswa menggunakan celana panjang dengan jas atau kemeja lengan panjang. Aku menggunakan gaun berwarna hijau zamrud. Aku berharap Eric akan menyukainya, karena aku tahu dia menyukai warna hijau.
Akhirnya dansa dimulai. Dia mengenakan kemeja berlengan panjang putih, celana panjang hitam dan sepatu keds hitam. Walaupun sederhana, tapi bagiku dia amat menawan malam itu. Aku berusaha untuk benar-benar menikmati setiap detiknya. Berdansa di bawah sinar bulan, di depan puluhan pasang mata. Aku menghayati setiap gerakan yang kami buat dan hangat tangan Eric yang hanya menggenggam jemariku. Saat itu aku tak berani menatap wajahnya, apalagi matanya. Paling tidak aku melakukannya dengan sekilas. Lagu pun berhenti mengalun, kami langsung melepaskan tangan kami dan pergi ke arah yang berlawanan. Malam itu, menjadi malam paling indah dan tak terlupakan sepanjang hidupku.
Waktu tak pernah mau berhenti untuk kami yang tak ingin meninggalkan masa lalu. Sekarang kami sudah memasuki SMP yang berbeda. Aku masuk di SMP yang jauh dari rumahku, sementara dia masuk SMP yang cukup dekat dengan rumahnya. Banyak teman satu SD ku yang juga masuk ke SMP yang sama dengan Eric. Sehingga bukanlah hal yang sulit untukku jika ingin mengetahui kabarnya sekarang.
Walaupun sudah hampir satu tahun berlalu dari acara perpisahan kami, aku dan Eric tetap bermusuhan dan tak saling bicara. Tentunya kalian tidak lupa mengenai pertengkaranku dengannya akibat tragedi PS Matematika itu, kan? Semuanya masih sedingin dahulu, hubungan aku dengannya. Bahkan dansa di acara perpisahan pun tak berhasil memperbaiki hubungan kami.
Akhirnya aku sampai di satu titik, di mana aku menyadari sebenarnya akulah yang jahat dan keterlaluan kepadanya. Dia berlaku jahat padaku karena akulah yang memulainya terlebih dahulu. Akhirnya aku memutuskan untuk meminta maaf kepada Eric melalui perantaraan teman dekatku yang juga dekat dengan Eric. Kita sebut saja dia Vina.
Betapa lega dan senangnya aku, ternyata Eric mau memaafkanku. Semenjak saat itu, kami mulai berbicara, namun tetap tak sedekat dahulu. Tetap ada jurang pembatas di antara kami walaupun jarak kami tak sampai satu meter. Bersama dengan semakin jauh waktu meninggalkan saat-saat kami di SD, hubungan dengannya pun semakin menjauh juga. Kami tidak bertengkar, namun kami tidak berbicara satu sama lain. Separah itulah hubungan kami. Disuatu saat hubunganku dengannya membaik dan mendekat, namun tak lama kemudian kembali menjauh. Lebih jauh daripada sebelumnya dan takkan menjadi lebih dekat seperti sebelumnya.
Suatu sore aku bermain ke rumah teman priaku. Dia tidak satu SD denganku, namun dia juga teman sepermainanku di rumah. Dan sekarang dia satu SMP dengan Eric. Sebut saja dia Mike.
Awalnya aku datang hanya ingin melihat foto kelasnya, di mana terdapat foto pacar Eric sekarang di SMP yang berarti pacar pertamanya. Lama kelamaan akhirnya aku dan Mike saling curhat mengenai orang yang kami suka. Setelah memaksa Mike bersumpah takkan membocorkan hal ini pada siapapun dan menukarnya dengan nama orang yang disukainya, akhirnya aku menceritakan kepada Mike betapa aku mencintai Eric. Waktu berjalan begitu cepat ketika kami mengobrol sehingga aku baru pulang dari rumahnya larut malam. Karena berhubung dia cukup dekat dengan Eric, Mike berjanji akan membantu memperbaiki hubunganku dengannya.
Kemudian satu demi satu kebohongan terkuak. Pacar Eric (yang lebih baik kita sebut Rika), ternyata berselingkuh di belakangnya. Menurut informasi yang kudengar dari Vina, Rika sering terlihat mesra dengan kakak kelasnya. Dan ternyata, suatu fakta yang kutemukan dengan tak sengaja, Rika juga berhubungan dekat dengan kakak kelasku. Menurut kakak kelas itu, semuanya tinggal menunggu waktu. Jika dia ‘tembak’, Rika pasti akan jadian dengannnya. Bagaimana aku tidak marah dan kesal? Eric yang sangat aku sayangi dan berusaha kudapatkan setengah mati disia-siakan begitu saja oleh Rika! Apakah Rika tidak menyadari betapa beruntungnya dia?
Tak lama kemudian Eric putus dengan Rika. Suatu kabar yang menggembirakan. Bukan hanya karena berarti Eric ‘available’ lagi, tapi juga karena akhirnya dia lepas dari permainan Rika. Setelah putus dari Rika, lama sekali Eric menjomblo. Hingga suatu hari kudengar dari Vina dia telah berpacaran dua kali., namun tidak ada yang bertahan sampai sebulan. Aku juga tidak menjomblo terus selama di SMP. Aku telah dua kali pacaran. Yah… yang pertama aku tak mau menyebutnya sebagai pacaran, karena aku sungguh tak mengkehendakinya. Aku hanya menerima mantanku yang pertama karena kasihan padanya. Tentunya karena ada suatu kejadian yang dialaminya dan tak boleh aku ceritakan di sini.
Saat aku berpacaran untuk yang kedua kalinya, harus kuakui aku menyayangi pacarku saat itu. Namun aku masih terlalu egois dan belum mengerti apa-apa tentang berpacaran, sehingga hubungan kami tak bertahan terlalu lama. Dan sekarang, hubunganku dengan mantan-mantanku tak berbeda dengan hubunganku dengan Eric. Bahkan lebih parah. Kami tak berbicara sama sekali.
Satu lagi kebohongan yang terungkap. Mike mengingkari sumpahnya. Dia memberitahukan kepada Eric betapa aku mencintainya. Aku mengetahui hal itu dari sahabatku. Dan sahabatku diberitahukan oleh Eric sendiri. Semenjak saat itu aku sangat malu jika harus berhadapan dengan Eric. Satu-satunya yang dapat aku lakukan hanya berpura-pura tidak tahu perbuatan yang telah Mike lakukan. Berpura-pura tidak tahu Eric mengetahui semuanya.
Kegiatanku di SMP begitu menyibukkanku sehingga aku jarang sekali dapat bermain ke komplek perumahan Eric. Tidak ada minggu tanpa ulangan, tugas yang menumpuk, latihan basket, dan ekskul komputer memenuhi hari-hariku. Intensitas pertemuanku dengan Eric pun semakin berkurang, bahkan bisa 2 bulan sekali bertemu.
Hingga akhirnya aku mendengar kabar itu. Eric akan pindah rumah. Dulu sekali, aku juga pernah mendengar kabar itu, dan memang Eric pindah rumah. Namun pindahnya di sekitar komplek itu juga. Dan sekarang dia akan pindah rumah ke tempat yang lebih dekat dengan sekolahnya. Yang berarti jauh dari komplek yang sekarang dia tinggali. Kabar itu bagai guntur yang menggelegar di atas kepalaku. Eric memang tidak pindah jauh, bahkan tidak keluar dari kota. Namun yang pasti, rumahnya tidak dapat lagi aku kunjungi dengan bersepeda. Seperti yang biasa aku lakukan selama ini, seperti yang biasa kami lakukan selama ini.
Eric akan pindah di awal bulan Maret. Di awal bulan di mana terdapat tanggal ulang tahunnya. Aku amat berharap dapat melewati hari ulang tahunnya bersama lagi. Dia memang tidak pernah mengadakan pesta untuk merayakan hari ulang tahun, namun aku ingin dapat bermain bersama dan mengucapkan selamat ulang tahun padanya untuk yang terakhir kali. Dulu sekali, ketika kami masih kelas 6 SD, aku pernah memberikan Eric bola basket sebagai hadiah ulang tahun. Bukan bola basket yang bagus dan mahal, namun untuk mendapatkannya aku perlu berjuang keras dan menabung selama 1 bulan. Aku berharap dia dapat menjaganya dengan baik, karena mungkin hanya itulah kenangan mengenaiku yang akan diingatnya. Karena aku menyadari betapa tidak berartinya diriku di matanya, walaupun dia berarti segalanya untukku.
Sehari sebelum kepindahannya, aku sempat bertemu dengan Eric. Tidak lama, namun dia tampak begitu mempesona hari itu. Pada kesempatan itu pun kami tidak bertegur sapa, apalagi berbicara. Gengsi selalu memenuhi diri kami.
Pada hari kepindahannya, aku tak mengantarnya pergi. Karena begitu kusadari, dia telah pergi. Walaupun masih kesal, aku menelpon Mike untuk mengetahui ke mana pastinya Eric pindah. Namun Mike juga tidak tahu pasti.
Akhirnya kini aku tahu ke mana Eric pindah. Di suatu tempat yang jauh dari lingkungan di mana kami menghabiskan masa-masa kecil kami yang indah dengan bermain. Ini berarti aku tidak akan pernah bertemu Eric lagi. Dulu aku berpikir, tidak masalah berpisah SMP dengannya. Toh kami juga masih bisa bertemu di rumah. Namun sekarang, kami tidak akan pernah bertemu lagi. Kecuali jika aku pergi berkunjung ke SMP nya dengan alasan ingin bertemu teman-teman SD ku di sana. Suatu hal yang sangat sulit dan akan jarang sekali terjadi.
Tak ada lagi yang tersisa. Hanya kenangan akan masa-masa penuh tawa dan petualangan serta cinta ini yang tetap tinggal. Kenangan-kenangan itu, seperti yang amat kutakutkan, bisa saja pudar dan hilang dari ingatan. Karena otak manusia juga bisa melemah dan memori-memori, betapapun berharganya itu, akan hilang.
Cinta ini pun dapat tenggelam. Sehingga aku tidak akan melihat wajahnya lagi dalam mimpi ataupun lamunanku selama bertahun-tahun. Namun aku cukup yakin cinta ini takkan hilang. Cinta itu akan kurasakan muncul kembali lagi jika aku kembali menatap mata coklat dan bibir pucatnya.
Selama aku tidak melihatnya lagi, mungkin cinta itu dapat kurasakan pudar. Namun, tentu akan ada rindu yang menyergapku ketika aku berjalan-jalan dengan sepeda di sore hari, melewati tempat-tempat yang dulu sering kami lewati atau singgahi. Ketika aku mencium angin sore yang membawa bau badan anak laki-laki yang bercampur debu dan keringat setelah bermain bersama teman-temannya seharian…